Masa Pertumbuhan Dan Perkembangan Pendidikan Islam
MASA
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Rangkuman Ini Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Masduqi M.Ag
Disusun Oleh :
1.
Suwarti
2.
Umatul Afifah
3.
Wahyu Eka
4.
Wildan Mahmudi
5.
Zulaika
6.
Saiful Mufid
SEKOLAH TINGGI
ILMU TARBIYAH MUHAMMADIYAH
(STIT)
TEMPURREJO NGAWI
2012
MASA
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Pada
masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman nabi Muhammad SAW, pendidikan
Islam berarti memasukkan ajaran Islam ke dalam unsure-unsur budaya bangsa Arab
pada masa itu, sehingga diwarnai oleh Islam. Dalam pembinaan tersebut ada
beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu :
1.
Adakalanya Islam mendatangkan suatu unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi
unsure budaya yang telah ada seperti Al-Qur’an.
2.
Adakalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran yang sifatnya meluruskan kembali
nilai-nilai yang dalam kenyataan praktisnya sudah menyimpang dari ajaran
aslinya.
3.
Adakalanya Islam mendatangkan ajaran yang
sifatnya bertentangan sekali dengan budaya yang ada sebelumnya.
4.
Budaya yang telah ada dan tidak bertentangan
dengan ajaran Islam pada umumnya di biarkan tetap berlaku dan berkembang dengan
mendapatkan pengarahan-pengarahan seperlunya.
5.
Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada
sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
perkembangan budayanya.
Sebenarnya
sasaran kebudayaan Islam tersebut bukan hanya mewariskannya pada generasi muda
saja tetapi juga meluaskan jangkauan penetrasi budaya Islami kepada budaya
umat, kepada bangsa-bangsa diluar bangsa
Arab tersebut. Sudah dirintis pula oleh Nabi Muhammad SAW melalui pengiriman
utusan-utusan untuk menyampaikan ajakan menerima ajaran Islam kepada para raja
dan penguasa disekitar Arab. Dengan demikian pendidikan Islam pada masa
pertumbuhan dan perkembangannnya juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua
saran, yaitu generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa
lain yang belum menerima ajaran Islam.
Tujuan
dari pendidikan (dakwah) Islam keluar tidak lain adalah untuk menyampaikan
ajaran Islam kepada masyarakat bangsa atau suku bangsa agar mereka menerimanya
menjadi system hidup. Untuk itu nabi
Muhammad SAW telah mengirimkan utusan-utusan khusus yang sebenarnya adalah
pendidik bagi umat, ke Negara di luar penguasa Jazirah Arab. Namun mereka
memberi reaksi yang keras bahkan sampai membunuh utusan nabi, dan bersiap-siap
pula menyerang Madinah. Akhirnya nabi mengirimkan pasukan dari sejumlah kaum Muslimin untuk memberikan pelajaran bagi
mereka yang memperlakukan jahat terhadap utusan nabi. Setiap pasukan Kaum
Muslimin menguasai suatu daerah baru, kemudian sebagian sahabat mendapat tugas
untuk menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk sehingga timbul pusat-pusat
pendidikan Islam diluar Madinah dengan sahabat-sahabat sebagai gurunya.
Suatu
peristiwa penting dalam Sejarah Pendidikan Islam setelah nabi wafat adalah
eristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan membayar zakat,
serta timbulnya nabi-nabi palsu pada awal kekhalifahan Abu Bakar. Untuk mengatasi
pemberontakan tersebut Abu Bakar mengirim pasukan yang terdiri dari para
sahabat akan tetapimereka masih membangkang sehingga terjadilah pertempuran
hebat.Pada pertempuran itu banyak sahabat yang mati syahid yang menyebabkan
kurangnya penghafal-penghafal Qur’an, guru, dan Pendidik Islam. Untuk menjaga
agar Al-Qur’an jangan sampai hilang, maka Al-Qur’an yang dahulunya belum
tersusun sesuai dengan hafalan para
sahabat, di tulis kembali dan dijadikan satu mushaf.
1.
Pusat-Pusat Pendidikan Islam
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menerangkan
bahwa pusat-pusat Pendidikan Islam tersebar dikota-kta besar sebagai berikut:
a.
Di Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
b.
DI Kota Basrah dan Kufah (Irak)
c.
Di Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
d.
Di Kota Fistat (Mesir)
Di pusat-pusat pendidikan tersebut para
sahabat memberikan pelajaran Agama Islam kepada para muridnya baik yang berasal
dari penduduk setempat maupun yang datang dari daerah lain. Kemudian timbullah
Madrasah-madrasah yang menjadi tempat memberikan pelajaran dalam bentuk
khalaqoh di masjid atau tempat pertemuan lainnya.
Di antara Madrasah –madrasah yang terkenal
pada masa pertumbuhan pendidikan Islam ini adalah:
a.
Madrasah Makkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah adalah Muad Bin Jabbal. Ialah
yang mengajarkan Al-Qur’an, hukum-hukum halal dan haram dalam Islam.
b.
Madrasah Madinah
Madrasah ini lenbih termasyhur karena disanalah tempat kahalifah
Abu Bakar, Umar, dan Usman, dan disanapula banyak tinggal sahabat-sahabat nabi.
Di antara sahabat yang mengajar di Madrasah ini adalah Umar bin Khatab, Ali bin
Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar.
Setelah para
sahabat wafat di gantikan oleh murid-muridnya (Tabi’in), yaitu yang terkenal
:Sa’ad bin Musyayab dan Urwah bin Al-Zubair bin Al-Awwam, yang pada generasi
berikutnya kemudian muncul seorang ahli Hadits dan Fiqih: Ibnu Syihab Al-Zuhri.
c.
Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah ini
ialah Abu Musa Al-Asy’ari dan Anas bin Malik. Guru yang terkenal ialah Al Basri
dan Ibn Sirin.
d.
Madrasah Kufah
Ulama sahabat yang tinggal di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin
Mas’ud. Madrasah Kufah ini melahirkan Abu Hanifah salah seorang imam madzab
yang terkenal dengan penggunaan ra’yu
dalam berijtihad.
e.
Madrasah Damsyik
Khalifah Umar mengirimkan tiga orang guru agama , yaitu Muaz bin
Jabbal, Abadah dan Abu Dardak. Madrasah ini melahirkan imam penduduk Syam,yaitu
Abdurrahman Al- Auzai yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f.
Madrasah
Fistat (Mesir)
Sahabat yang mendirikan Madrasah dan menjadi guru adalah Abdullah
bin Amr bin Ash, ia adalah seorang ahli hadits.
Mahmud Yunus menjelaskan para sahabat yang menjadi pendiri
Madrasah di tiap—tiap kota yang sangat masyhur,antara lain :
1.
Abdullah bin Umar di Madinah.
2.
Abdullah bin Mas’ud di Kufah.
3.
Abdullah bin Abbas di Makah.
4.
Abdullah bin Amr bin Al-Ash di Mesir.
Inilah empat orang Abdullah yang besar sekali jasanyadalam
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada murid-muridnya.
2. Pengajaran
Al-Qur’an
Intisari ajaran Islam adalah apa yang termaktun dalam Al-Qur’an.
Sedangkan hadits ataupun sunnah Rasulullah yang merupakan penjelasan dari
apa-apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Sumber pengajaran Al-Qur’an pada masa
itu adalah para sahabat. Mereka yang bertanggung
jawab memberikan penjelasan dan pengertian yang dikandung oleh Al-Qur’an kepada
orang-orang yang baru masuk Islam.
Problema pertama yangb
di hadapi oleh para sahabat dalam pengajaran Al-Qur’an adalah menyangkut itu
sendiri. Pada masa itu Al-Qur’an secara lengkap
ada dalam hafalan para sahabat tetapi tentunya tidak semua sahabat hafal
sepenuhnya Al-Qur’an. Di samping itu Al-Qur’an masih dalam bentuk
tulisan-tulisan yang berserakan belum
menjadi mushaf sebagaimana mushaf sekarang.Sementara itu sebagian sahabat yang
hafal Al-Qur’an meninggal, berarti akan semakin berkurang nara sumber.
Problema selanjutnya yang muncul adalah masalah pembacaan
(qiraat). Al-Quran adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi mereka yang tidak berbahasa
Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Hal ini memerlukan
proses dan waktu, menuntut ketekunan dan kesabaran untuk mengajarkannya. Pada
masa Khalifah Utsman bin Affan terjadiperselisihan dalam pembacaan Qira’at yang
saling mempertahankan kebenaran masing-masing kemudian Ustman menasehati
panitia untuk :
1.
Mengambil pedoman pada bacaan mereka yang
hafal Al-Qur’an
2.
Kalau ada pertikaian antara mereka tentang
bacaan tersebut maka haruslah dituliskan
menurut dialek suku Quraisy sebab Al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Al-Qur’an
dibukukan oleh panitia sebanyak lima buah mushaf kemudian dikirimkan oleh
khalifah masing-masing ke Mekkah, Syiria, Bazra, dan Kufah, sedangkan yang satu
tetap dipegang oleh khalifah sendiri di Madinah. Khalifah Utsman memerintahkan
agar catatan yang ada sebelumnya dibakar dan supaya umat Islam berpegang kepada
mushaf yang lima itu, baik dalam
pembacaan dan penyalinan berikutnya.
Manfaat
pembukuan Al-Qur’an :
a.
Menyatukan kaum muslimin pada satu macam
mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
b.
Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada
prbedaannya namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Utsman dan
bacaan-bacaan yang tidak sesuai tidak diperbolehkan.
c.
Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut
tertib urut sebagai yang kelihatan pada mushaf-mushaf sekarang ini.
Sejak
itulah pengajaran Al-Qur’an secara berangsur-angsur menjadi satu sebagaimana
yang tertulis dalam mushaf dan yang selainnya di tetapkan tidak sah dan
akhirnya ditinggalkan. Untuk memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin
yang tidak berbahasa Arab, maka guru
Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain :
a.
Mengembangkan
cara membaca Al-Qur’an dengan baik kemudian menimbulkan Ilmu Tajwid
Al-Qur’an.
b.
Meneliti cara pembacaan Al-Qur’an yang telah
berkembang pada masa itu mana-mana yang sah dan sesuai dengan bacaan yang tertulis dalam mushaf, dan mana-mana
yang tidak sah. Hal ini menimbulkan adanya Ilmu Qiro’at, yang kemudian timbul apa yang kita kenal
dengan Qiro’at As-Sab’ah.
c.
Memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan
mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan benar bagi mereka yang baru belajar
membaca Al-Qur’an.
d.
Memberikan penjelasan tentang maksud dan
pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan, kemudian
berkembang menjadi Ilmu Tafsir.
3.
Pertumbuhan dan Perkembangan kebudayaan Islam.
Telah dikemukakan bahwa akibat pendidikan adalah mewariskan
nilai budaya kepada generasi muda dan mengembangkannya. Oleh karena itu
pendidikan islam pada hakikatnya adalah mewariskan nilai kebudayaan islam kepada
generasi muda dan mengembangkannya sehingga mencapai dan memberikan manfaat
maksimal bagi hidup dan kehidupan manusia sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
Kalau masa nabi
Muhammad SAW dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan islam kedalam system
budaya bangsa Aang telah Arab pada masa itu, dengan meluasnya ajararan islam
dipeluk oleh bangsa-bangsa diluar bangsa Arab yang mempunyai system budaya yang
berbeda-beda. Dengan demikian islam menghadapi unsur-unsur budaya baru yang
berbeda dengan unsur-unsur budaya bangsa Arab yang pernah dihadapinya. Maka
mendapatkan tantangan dari unsur-unsur kebubayaan setempat yang telah
berkembang tersebut, maka tumbuh dan berkembang pula kebudayaan islam yang
didasari oleh ajaran islam. Oleh karena itu wajarlah kalau islam menerima
sebagian unsur-unsur budaya manusiawi yang telah berkembang tersebut sepanjang
bisa diarahkan dan diwarnai sebagai budaya yang islami. Adapun budaya manusia
yang berkembang menyimpang dengan prinsip-prinsip budaya islam maka islam menolaknya
dan menggantinya dengan budaya baru yang islami.
Pada masa pertumbuhan
kebudayaan islam terjadi dialog yang
seru antara prinsip-prinsip budaya islami dengan budaya yang berkembang pada
masa itu. Sehingga terjadi perbedaan pemikiran dan pandangan, yang menimbulkan
sikap kebijaksanaan yang berbeda-beda pula dalam menghadapi masalah yang
timbul. Sebagai bentuk konkrit adalah tumbuhnya berbagai aliran dan madzhab
dalam berbagai aspek budaya islami.
Masalah yang pertama
yang dihadapi para sahabat begitu Rasulullah wafat adalah masalah siapa dan
bagaimana pengganti menggantikannya.
Beliau tidak memberikan petunjuk dalam hal ini. Akhirnya berdasarkan hasil
musyawarah beberapa tokoh dikalangan sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai
Khalifah pengganti Rasulullah. Pengangkatan dilaksanakan dengan cara tabi’at
dari kaum muslimin pada waktu itu. Ali pun akhirnya memberikan bai’at kepada
Abu Bakar, yang segera menjalankan tugasnya dengan menggunakan system kepemimpinan
yang terbuka. Namun system politik dan kepemimpinan ini mengalami
perubahan-perubahan pada masa-masa
berikutnya’ dan berakhir dengan berhasilnya Muawiyah merebut kekuasaan dan
memutuskan bahwa kekhalifahan adalah jabatan turun temurun. Sejak masa itu
jabatan khalifah dan system kepemimpinan di kalangan islam berangsur banyak
terpengaruh oleh adat kebiasaan dalam istana raja-raja Romawi. Timbullah
masalah-masalah hukum yang baru sifatnya, yang mendorong para sahabat untuk
menetapkan ketentuan hukum.
Secara umum
Rasulullah telah memberikan pedoman bagaimana cara memberikan keputusan hukum
terhadap masalah-masalah baru yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Petunjuk Rasulullah dalam memberikan
keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama dicari ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an, jika
tidak terdapat hendaknya dicari dalam Sunnah atau Hadits, jika tidak pula
terdapat maka gunakan akal pikiran (ijtihad) untuk memberikan ketentuan hukum.
Dalam hal berijtihad
berkembang dua pola, Ahl al Hadits dalam memberikan ketetapan hukum
sangat bertegangan pada hadits-hadits Rasulullah, sehingga bagaimanapun mereka
berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat lain. Mereka
inilah yang akhirnya mendorong usaha pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits
nabi.
Pola yang kedua
adalah yang dikembangkan oleh Ahl Ra’yu (Ahli fikir). Mereka ini karena
keterbatasan hadits yang sampai pada mereka dan terdapatnya banyak
hadits-hadits palsu , hanya menerima hadits-hadits yang kuat/shahih saja, dan
mereka lebih mengutamakan penggunaan ra’yu
dalam berijtihat. Selanjutnya aliran ini mendorong usaha penelitian
terhadap hadits-hadits sehingga berkembanglah Ilmu Hadits. Mereka juga
mengembangkan bagaimana cara dan pelaksanaan menggunakan ra’yu dalam berijtihad,
sehingga berkembanglah Ilmu Ushul Fiqih.
Dari dua pola umum
ijtihad tersebut, kemudian berkembang berbagai madzhab (aliran) dalam fiqih,
yang masing-masing mengembangkan hukum-hukum fiqihnya.
Berhadapan dengan
pemikiran teologis dari agama Kristen maka berkembang pula system pemikiran
islam. Timbul dalam islam pemikiran yang teologis pula, yang kemudian dikenal
dengan sebutan Ilmu Kalam. Semua ilmu kalam bertujuan untuk menolak
ajaran-ajaran teologi dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak aqidah
islam.
Pada garis besarnya
pemikiran islam dalam pertumbuhannya muncul dari tiga pola, yaitu:
a.
Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang
terikat pada dogma-dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap
dogma-dogma agama. Menurut pola piker ini kebenaran yang sesungguhnya hanya
diperoleh manusia dengan perantaraan wahyu, sedangkan akal hanya berfungsi
sebagai alat penerima saja.
b.
Pola pemikiran yang bersifat rasional yang
lebih mengutamakan akal pikiran. Pola piker ini menganggap bahwa akal pikiran
adalah merupakan sumber kebenaran. Akal bisa mencapai kebenaran walaupun tanpa
wahyu. Mereka menggunakan akal pikiran untuk mencari kebenaran dan kemudian
wahyu berfungsi sebagai penunjang kebenaran yang diperoleh okal. Mereka
berpandangan bahwa kebenaran akal dengan kebenaran wahyu tidak mungkin
bertentangan.
c.
Pola pemikiran yang bersifat batiniah dan
intuitif , yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis.
Menurut pola ini seseorang yang akan mencari kebenaran harus melalui
tangga-tangga, yaitu dari tangga terbawah yang disebut syari’at, kemudian
tharikat hakikat, untuk sampai tangga yang tertinggi yang disebut ma’rifat.
Pada tingkatan ma’rifat seseorang memperoleh pengetahuan yang sebenarnya.
Dari uraian tersebut Nampak bahwa keluasan wilayah kekuasaan islam dan
banyaknya bangsa-bangsa yang memeluknya telah menjadikan semakin luas pula
lingkup perkembangan kebudayaan islam. Bermacam-macam ilmu pengetahuan tumbuh
yang pada mulanya berhubungan erat dalam pengajaran Al-Qur’an, kemudian meluas
kebidang hukum fiqih dengan berbagai madzhab yang ditimbulkannya. Di bidang
pemikiran islam berkembang berbagai pola yang merupakan pengembangan lebih luas
dari ajaran-ajaran islam yang bersumberkan
Al-Qur’an dan Assunnah