Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pidato Bulan Ramadhan Antara Lailatul Qadar dan Budaya Konsumerisme

Pidato Bulan Ramadhan Antara Lailatul Qadar dan Budaya Konsumerisme

Antara Lailatul Qadar dan Budaya Konsumerisme

Bulan suci ramadhan merupakan bulan penuh hikmah. Apalagi sepuluh hari terkahir ramadhan. Namun, fakta yang ada di masyarakat justru sebaliknya. Pada sepuluh hari terkahir ramadhan, masyarakat Indonesia di sibukkan oleh persiapan menjelang hari lebaran.

Puasa ibarat sebuah kompetisi atau persaingan. Pada sepuluh hari pertama adalah babak penyisihan. Dalam babak penyisihan ini, semua peserta ambil bagian, baik itu sebagai peserta yang memang benar-benar serius dalam mengikuti kompetisi dan mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya. Dan juga peserta yang hanya sekedar peserta yang tidak mempunyai persiapan apapun.

Sepuluh hari kedua, masuk babak perempat final dan semifinal. Pada babak ini, hanya tinggal beberapa peserta yang telah melewati babak penyisihan. Dan sepuluh hari ketiga, adalah babak final. Sudah barang tentu, peserta yang masuk babak final adalah peserta yang sudah mempersiapkan diri secara maksimal jauh sebelum kompetisi dimulai.

Sesuai tahapan-tahapan tersebut, maka fase sepuluh hari ketiga adalah fase akhir dari kompetisi yang sedang kita lalui. Sebagaimana biasanya sebuah kompetisi, maka ganjaran dan hadiah yang diberikan pada babak akhir kompetisi sangat besar dan banyak. Apalagi bila menjadi juara, fasilitas yang didapatkan akan begitu besar dan banyak.

Sepuluh hari ketiga pada bulan Ramadhan, Allah SWT menjanjikan pahala yang begitu besar bagi ummatnya. Bahkan ada satu malam yang sangat istimewa, yaitu malam lailatul Qadar. Lailatul qadar adalah malam yang lebih mulai dari pada seribu bulan.

Para ulama pada akhir-akhir bulan ramadhan, selalu mengajak kepada kaum muslim untuk terus meningkatkan intensitas dan frekwensi beribadahnya. Bahkan kita diajak untuk melakukan beri’tikaf dimesjid demi untuk mendapatkan malam lailatul qadar.

Namun, fakta yang ada di masyarakat justru sebaliknya. Pada sepuluh hari terkahir ramadhan, masyarakat Indonesia di sibukkan oleh persiapan menjelang hari lebaran. Persiapan lebaran mulai dari mempersiapkan baju baru untuk anak, ibu, suami atau istri dan untuk keluarga lainnya. Sementara persiapan yang lainnya adalah persiapan mudik. Hampir semua masyarakat Indonesia, disibukkan oleh dua hal tersebut. Tak heran jika pada akhir Ramadhan, sebahagian umat Islam lebih memilih pusat perbelanjaan dan tempat penjualan tiket, baik itu agen perjalanan, terminal, stasiun, dan pelabuhan penyeberangan. Setali tiga uang dengan budaya masyarakat, pusat perbelanjaan pun menawarkan penawaran-penawaran yang menarik bagi pengunjungnya. Sehingga mampu meraup keuntungan yang besar.

Fakta ini menunjukkan bahwa, budaya konsumerisme dalam masyarakat begitu menonjol. Dan budaya ini telah mengalahkan janji-janji pahala yang sudah dijanjikan oleh Allah SWT. Akibanya frekweksi dan intensitas beribadah masyarakat Islam pada akhir ramadhan bukannya semakin meningkat bahkan sebaliknya semakin menurun.

Di Mesjid-mesjid, baik itu di Mesjid-mesjid besar hingga mushalla dan surau-surau, jamaah mesjid semakin sedikit. Dan menjelang hari lebaran, hanya akan tinggal beberapa orang saja. Dalam sebuah kompetisi, yang beberapa orang inilah yang masuk babak final dan kemungkinan akan menjadi juara.
Puasa adalah tempat training bagi segenap umat Islam, untuk bisa konsisten dalam melakukan segala hal. Tempat pelatihan dimana setiap orang diajarkan untuk bisa melawan segala hawa nafsunya. Jika pada akhir bulan Ramadhan kita tidak lagi mampu untuk menjaga konsistensi beribadah kita dan larut dalam menuruti keinginan untuk keinginan kita semata, maka training yang kita lakukan pada bulan ramadhan telah gagal menghasilkan sesuatu bagi diri kita.