Manajemen Sekolah
1. Pengertian dan
Fungsi Manajemen
Istilah manajemen memiliki banyak arti, bergantung pada orang yang
mengartikannya. Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah
administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda;
pertama, mengartikan administrasi lebih luas daripada manajemen (manajemen
merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari
pada administrasi; dan ketiga, pandangan yang menganggap bahwa manajemen
identik dengan administrasi. Dalam tulisan ini kata manajemen diartikan sama
dengan kata administrasi atau pengelolaan, meskipun kedua istilah tersebut
sering diartikan berbeda. Dalam berbagai kepentingan, pemakaian kedua istilah
tersebut sering digunakan secara bergantian, demikian halnya dalam berbagai
literatur, acapkali dipertukarkan. Berdasarkan fungsi pokoknya istilah
manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama. Karena itu, perbedaan
kedua istilah tersebut tidak konsisten dan tidak signifikan.
Secara etimologi, dalam bahasa Indonesia belum ada keseragaman mengenai
terjemahan terhadap istilah "management" hingga saat ini
terjemahannya sudah banyak dengan alasan-alasan tertentu seperti pembinaan,
pengurusan, pengelolaan ketatalaksanaan, manajemen dan management. Hal yang
sama dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
a. Menurut M. Manullang bahwa istilah manajemen terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, hingga saat ini belum ada keseragaman. Berbagai istilah
yang dipergunakan" seperti: ketatalaksanaan, manajemen, manajemen
pengurusan dan lain sebagainya.
b. Dalam Kamus Ekonomi, management berarti pengelolaan,
kadang¬kadang ketatalaksanaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manajemen
berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.
Menurut terminologi, bahwa istilah manajemen hingga kini tidak ada standar
istilah yang disepakati. Istilah manajemen diberi banyak arti yang berbeda oleh
para ahli sesuai dengan titik berat fokus yang dianalisis. Hal ini dapat
dilihat sebagai berikut:
a.
Manajemen seperti dikemukakan George. R. Terry adalah
Management is a distinct process consisting of planning,
organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish
stated objectives by the use of human beings and other resources. (manajemen
merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan:
perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan, yang dilakukan
untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain).
b. Menurut E. Mulyasa manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berkenan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun
tujuan jangka panjang.
Berdasarkan beberapa rumusan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara
umum manajemen dapat didefinisikan sebagai kemampuan atau keterampilan untuk
memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan tertentu melalui atau dengan
cara menggerakkan orang-orang lain.
Dalam proses pelaksanaannya, manajemen mempunyai tugas-tugas khusus yang
harus dilaksanakan. Tugas-tugas khusus itulah yang biasa disebut sebagai
fungsi-fungsi manajemen. Berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, berikut
ini akan dipaparkan beberapa pendapat para ahli manajemen.
1.
George R. Terry (Disingkat POAC)
a) Planning (Perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasian)
c) Actuating (Penggerakan)
d) Controlling (Pengendalian).
2.
Koont O' Donnel and Niclender:
a) Planning (Perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasian)
c) Stafing (Penyusunan pegawai)
d) Directing (Pemberian bimbingan)
e)
Controlling (Pengendalian).
3. Newman
a) Planning (Perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasi)
c) Assembling (Perwakilan)
d) Resources (Penggalian sumber)
e) Directing (Pemberian bimbingan)
f) Controlling (Pengendalian).
4. Henri Fayol
a) Forecasting and Planning (Forkasting dan perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasian)
c) Commanding (Perintah)
d) Coordinating (Koordinasi)
e) Controlling (Pengawasan).
5. Herbert G. Hicks
a) Creating (Kreasi)
b) Planning (Perencanaan)
c) Organizing (Pengorganisasian)
d) Motivating (Motivasi)
e) Communicating (Komunikasi)
f) Controlling (Pengawasan).
6. Luther Culick (Disingkat POSDCORB)
a) Planning (Perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasian)
c) Stafing (Penyusunan pegawai)
d) Directing (Pemberian Bimbingan)
e) Coordinating (Pengkoordinasian)
f) Reporting (Pelaporan)
g) Budgeting (Penganggaran).
7. James A.F. Stoner
a) Planning (Perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasian)
c) Leading (Pemimpinan)
d) Controlling (Pengendalian).
8. Harold Koontz
a) Planning (Perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasian)
c) Stafing (Penyusunan pegawai)
d) Leading (Pemimpinan)
e) Controlling (Pengendalian).
9. Sondang P. Siagian
a) Planning (Perencanaan)
b) Organizing (Pengorganisasian)
c) Motivating (Pemberian motivasi)
d) Controlling (Pengendalian)
e) Evaluating (Penilaian).
Dalam konteksnya dengan manajemen pendidikan bahwa menurut E. Mulyasa
manajemen pendidikan merupakan proses pengembangan kegiatan kerjasama
sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Proses
pengendalian kegiatan kelompok tersebut mencakup perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan
(controlling) sebagai suatu proses untuk menjadikan visi menjadi aksi.
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral dan tidak dapat
dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya tanpa manajemen
tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif, dan
efisien. Konsep tersebut berlaku di sekolah yang memerlukan manajemen yang
efektif dan efisien. kerangka inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya
manajemen, yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan guru dalam
mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi,
mempertanggungj awabkan, mengatur, serta memimpin sumber-sumber daya insani
serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan
tujuan sekolah. Manajemen juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat
peserta didik, guru-guru, serta kebutuhan masyarakat setempat. Untuk itu, perlu
dipahami fungsi-fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pembinaan. Dalam prakteknya keempat fungsi tersebut merupakan
suatu proses yang berkesinambungan.
Selanjutnya, keempat fungsi tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:
perencanaan merupakan proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan
tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Perencanaan
juga merupakan kumpulan kebijakan yang secara sistematik disusun dan dirumuskan
berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan serta dapat dipergunakan
sebagai pedoman kerja. Dalam perencanaan terkandung makna pemahaman terhadap
apa yang telah dikerjakan, permasalahan yang dihadapi dan alternatif
pemecahannya, serta untuk melaksanakan prioritas kegiatan yang telah ditentukan
secara proporsional. Perencanaan program pendidikan sedikitnya memiliki dua
fungsi utama, pertama, perencanaan merupakan upaya sistematis yang
menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai
tujuan organisasi atau lembaga dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang
tersedia atau sumber¬sumber yang dapat disediakan; kedua, perencanaan merupakan
kegiatan untuk mengerahkan atau menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara
efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan rencana menjadi
tindakan nyata dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Rencana
yang telah disusun akan memiliki nilai jika dilaksanakan dengan efektif dan
efisien. Dalam pelaksanaan, setiap organisasi harus memiliki kekuatan yang
mantap dan meyakinkan sebab jika tidak kuat, maka proses pendidikan seperti
yang diinginkan sulit terealisasi.
Pengawasan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamati secara sistematis
dan berkesinambungan; merekam; memberi penjelasan, petunjuk, pembinaan dan
meluruskan berbagai hal yang kurang tepat; serta memperbaiki kesalahan. Pengawasan,
merupakan kunci keberhasilan dalam keseluruhan proses manajemen, perlu dilihat
secara komprehensif, terpadu, dan tidak terbatas pada hal-hal tertentu.
Pembinaan merupakan rangkaian upaya pengendalian secara profesional semua
unsur organisasi agar berfungsi sebagaimana mestinya sehingga rencana untuk
mencapai tujuan dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Pelaksanaan manajemen sekolah yang efektif dan efisien menuntut
dilaksanakannya keempat fungsi pokok manajemen tersebut secara terpadu dan
terintegrasi dalam pengelolaan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan.
Melalui manajemen sekolah yang efektif dan efisien tersebut, diharapkan dapat
memberikan konstribusi terhadap peningkatan mutu pembelajaran secara
keseluruhan.
Adapun maksud fungsi-fungsi manajemen dalam tesis ini yaitu fungsi
perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan, dan controlling dalam peningkatan
mutu pembelajaran. Berdasarkan hal itu, tiap fungsi manajemen dapat dirinci
yaitu pertama, dalam hal perencanaan maka, apa yang hendak dikerjakan dalam
peningkatan mutu pembelajaran, siapa yang mengerjakannya, kenapa dikerjakan,
dimana dikerjakannya, kapan dikerjakan, bagaimana mengerjakannya (5 W + 1 H).
Kedua, pengorganisasian menyangkut susunan, pembagian tugas dan wewenang para
pengurus dalam peningkatan mutu pembelajaran. Ketiga, penggerakkan menyangkut
motivasi, bimbingan, perilaku manusia, kepemimpinan, komunikasi, hubungan
manusia dalam peningkatan mutu pembelajaran.
Dengan perkataan lain dalam penggerakkan ini merupakan usaha kepala
sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dengan cara menggerakkan atau memberikan
perintah dan koordinasi kepada seluruh tenaga pendidik dalam peningkatan mutu
pembelajaran. Keempat, controlling, maka hal ini menyangkut evaluasi terhadap fungsi-fungsi
manajemen dalam peningkatan mutu pembelajaran.
2. Ciri-Ciri
Pemimpin dan Kepemimpinan Situasional
Kata "kepemimpinan" terjemahan dari bahasa Inggris
"leadership". Kata ini sering terdengar dalam percakapan orang, dalam
pertemuan¬pertemuan, dari radio, televisi dan sebagainya. Dalam bahasa Arab
disebut dengan istilah khilafah, imarah, ziamah atau imamah. Secara etimologi,
kepemimpinan berarti daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan
dalam memimpin itu sendiri.
Tidaklah mudah untuk merumuskan definisi kepemimpinan, sebab tergantung
dari segi mana meninjaunya. Sebagai pegangan awal tidak ada salahnya bila
secara umum dan populer, kepemimpinan diberi arti di antaranya:
a. Menurut George R. Terry
Leadership
is the relationship in which one person, the leader, influences others to work
together willingly on related taks to attain that which the leader desires.
b. Menurut Heri Joewono, kepemimpinan diartikan sebagai suatu
cara dan metode seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain sedemikian rupa
sehingga orang tersebut dengan sadar mengikuti dan mematuhi segala kehendaknya.
c. Menurut Hoyt yang dikutip Moekiyat, kepemimpinan adalah
seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia; kemampuan untuk membimbing orang.
d. Menurut Miftah Thoha, kepemimpinan adalah aktivitas untuk
mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu.
Dari
beberapa perumusan yang berbeda tersebut, terlihat bahwa dalam suatu
kepemimpinan terdapat tiga unsur:
a. Unsur manusia sebagai pemimpin atau sebagai yang
dipimpin.
b. Unsur sarana merupakan semacam prinsip
dan teknik kepemimpinan yang dipakai dalam pelaksanaannya termasuk bekal
pengetahuan yang dimiliki.
c. Unsur tujuan yang merupakan sasaran akhir ke arah mana
kelompok manusia akan digerakkan.
Muhadi
Zainuddin dan Abd Mustaqim menyatakan bahwa unsur¬unsur dalam kepemimpinan
antara lain meliputi: 1) Pemimpin. 2) Anggota yang dipimpin, 3) Sistem dan
Mekanisme Kepemimpinan, 4) Tujuan atau Visi dan Misi.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
adalah suatu kegiatan atau seni untuk mempengaruhi perilaku orang-orang yang
dipimpin agar mau bekerja menuju kepada satu tujuan yang ditetapkan atau
diinginkan bersama.
Fakta-fakta sejarah telah cukup memberi bukti, bahwa kepemimpinan itu
sepanjang zaman merupakan persoalan yang penting bagi umat manusia.
Kelangsungan hidup atau timbul tenggelamnya suatu bangsa atau negara dalam
sejarah itu ternyata amat dipengaruhi oleh para pemimpin-pemimpinnya, yaitu
pemimpin-pemimpin negara, pemimpin¬pemimpin agama dan pemimpin-pemimpin lainnya
dalam masyarakat. Bahkan tiap-tiap zaman lebih terkenal nama pemimpin-pemimpin
daripada nama negara-negaranya, seperti misalnya nama-nama Airlangga,
Kartanegara, Jayakatwang, Ken Arok, Pangeran Diponegoro lebih dikenal daripada
nama-nama negaranya seperti Kahuripan, Singosari, Kediri yang
dipimpinnya.
Ralph M. Stogdill dalam bukunya Personal Factor Associated with Leadership
yang dikutip oleh James A. Lee dalam bukunya Management Theories and
Prescriptions, menyatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki beberapa
kelebihan:
a). Kapasitas, seperti kecerdasan, kewaspadaan kemampuan
berbicara atau verbal facility, kemampuan menilai.
b). Prestasi, seperti gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan,
perolehan dalam olahraga, dan lain-lain.
c). Tanggung jawab, seperti mandiri, berinisiatif, tekun,
ulet, percaya diri, agresif, dan punya hasrat untuk unggul.
d). Partisipasi, seperti aktif, memiliki sosiabilitas yang
tinggi, mampu bergaul, suka bekerja sama, mudah menyesuaikan diri, dan punya
rasa humor.
e). Status yang meliputi kedudukan sosial-ekonomi yang cukup
tinggi, populer, tenar.
Robert B. Myers melakukan studi tentang hal yang sama dengan Ralph M.
Stogdill dengan menghasilkan kesimpulan:
a). Sifat-sifat jasmaniah manusia tidak ada hubungannya dengan
leadership.
b). Walaupun pemimpin cenderung untuk lebih tinggi dalam
kecerdasan daripada orang yang dipimpinnya, akan tetapi tidak ada hubungan yang
berarti antara kelebihan kecerdasan tersebut dengan soal kepemimpinan itu.
c). Pengetahuan yang dimanfaatkan untuk memecahkan problem
yang dihadapi kelompok yang dipimpin merupakan bantuan yang sangat berarti pada
status kepemimpinan.
d). Ciri dan watak yang mempunyai korelasi dengan kepemimpinan
adalah: kemampuan melihat problem yang dihadapi, inisiatif, kerja sama, ambisi,
ketekunan, emosi yang stabil, popularitas, dan kemampuan berkomunikasi.
Kaum Dinamika Kelompok berpendapat, bahwa terdapat ciri-ciri yang harus
dimiliki pemimpin secara umum:
a). Persepsi sosial (social perception) :
Yang dimaksud dengan persepsi sosial adalah kecakapan
untuk cepat melihat dan memahami perasaan, sikap, kebutuhan anggota kelompok.
Persepsi sosial diperlukan untuk melaksanakan tugas pemimpin sebagai penyambung
lidah anggota kelompoknya dan memberikan patokan yang menyeluruh tentang
keadaan di dalam maupun di luar kelompok. Contoh pts kepala sekolah sd
pdf
b). Kemampuan berpikir abstrak (ability in abstract thinking)
Kemampuan
berpikir abstrak diperlukan dalam menafsirkan kecenderungan kegiatan di dalam
kelompok dan keadaan di luar kelompok dalam hubungannya dengan realisasi
tujuan-tujuan kelompok. Untuk itu diperlukan ketajaman penglihatan dan
kemampuan analitis yang didampingi oleh kemampuan mengabstraksi dan
mengintegrasikan fakta-fakta interaksi sosial di dalam maupun di luar kelompok.
Kemampuan tersebut memerlukan adanya taraf inteligensia yang tinggi pada
seorang pemimpin.
c).
Kestabilan emosi (emotional stability)
Pada
dasarnya harus terdapat suatu kematangan emosional yang berdasarkan pada
kesadaran yang mendalam tentang-kebutuhan, keinginan, cita-cita serta pengintegrasian
semua itu ke dalam kepribadian yang bulat dan harmonis. Kematangan emosi
diperlukan untuk dapat merasakan keinginan dan cita-cita anggota kelompok
secara nyata dan untuk dapat melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan yang lain
secara wajar.
Selain melakukan penelitian melalui pendekatan sifat dan ciri kepribadian,
para ahli juga mengadakan penelitian melalui pendekatan-pendekatan sebagai
berikut:
1. Pendekatan dari sudut pembawaan
Berdasarkan
pendekatan di atas, Gordon Lippit mengemukakan sebagai berikut: "Leader
are the great man who are born that who and make history" (Pemimpin itu
adalah "orang besar" yang dilahirkan dan membuat sejarah. Dengan kata
lain, kepemimpinan itu tidak bisa dibentuk melalui pendidikan dan latihan
karena merupakan sifat dan watak bawaan.
2. Pendekatan berdasarkan pada keadaan
Pendekatan
ini menggunakan hipotesis bahwa tingkah laku seorang pemimpin dalam suatu
keadaan akan berbeda bila ia berada dalam keadaan lain. Melalui pendekatan ini
dapat disimpulkan bahwa diperlukan fleksibilitas dalam memilih pemimpin
demikian juga kepekaannya dan pendidikannya.
3. Pendekatan berdasarkan peranan fungsional
Pendekatan
ini menyatakan bahwa kepemimpinan itu terjadi bila berbagai macam tugas
pekerjaan dapat dilaksanakan dan dipelihara dengan baik, serta fungsi atau
tugas tersebut dapat pula dilaksanakan oleh si terpimpin dengan jalan kerja
sama.
4.
Pendekatan berdasarkan gaya kepemimpinan.
Menurut
Shaleh, sifat, ciri atau nilai-nilai pribadi yang hendaknya dimiliki oleh
pemimpin da'wah itu antara lain adalah sebagai berikut: (1). Berpandangan jauh
ke masa depan, (2).Bersikap dan bertindak bijaksana, (3). berpengetahuan luas,
(4). bersikap dan bertindak adil, (5). berpendirian teguh, (6).mempunyai
keyakinan bahwa missinya akan berhasil, (7).berhati ikhlas, (8). memiliki
kondisi fisik yang baik, (9). mampu berkomunikasi.
Pendekatan atau teori kepemimpinan ini dikembangkan oleh Hersey dan
Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Pendekatan
situasional biasa disebut juga pendekatan kontingensi. Pendekatan ini
didasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau
lembaga tidak hanya bergantung pada atau dipengaruhi oleh perilaku dan
sifat-sifat pemimpin saja. Tiap-tiap organisasi atau lembaga memiliki ciri-ciri
khusus dan unik. Bahkan organisasi atau lembaga yang sejenis pun akan
menghadapi masalah yang berbeda karena lingkungan yang berbeda, semangat dan
watak bawahan yang berbeda. Situasi yang berbeda-beda ini harus dihadapi dengan
perilaku kepemimpinan yang berbeda pula. Karena banyaknya kemungkinan yang
dapat dipakai dalam menerapkan perilaku kepemimpinan itu sesuai dengan situasi
organisasi atau lembaga, maka pendekatan situasional ini disebut juga
pendekatan kontingensi; sesuai dengan kata kontingensi yang berarti
kemungkinan.
Sesuai dengan pendapat Hersey dan Blanchard, pendekatan situasional atau
pendekatan kontingensi ini merupakan suatu teori yang berusaha mencari jalan
tengah antara pandangan yang mengatakan adanya asas-asas organisasi dan
manajemen yang bersifat universal, dan pandangan yang berpendapat bahwa tiap
organisasi adalah unik dan memiliki situasi yang berbeda-beda sehingga harus
dihadapi dengan gaya kepemimpinan tertentu.
Salah satu faktor yang menunjukkan adanya perbedaan situasi organisasi
adalah tingkat kematangan dan perilaku kelompok atau bawahan. Tinggi-rendahnya
tingkat kematangan kelompok turut menentukan ke mana kecenderungan gaya
kepemimpinan seorang pemimpin harus diarahkan. Sebagai ilustrasi dapat
dikemukakan di sini: Seorang kepala sekolah atau kepala kantor yang sebagian
besar anak buahnya berpendidikan sarjana, perilaku kepemimpinan yang
diterapkannya akan berbeda dengan, misalnya, jika anak buahnya itu pada umumnya
hanya berpendidikan SMTP atau SMTA. Seorang kepala sekolah yang memimpin SMA di
Jakarta sudah barang tentu akan menerapkan perilaku kepemimpinan yang berbeda
dengan kepala SMA di daerah Cianjur, misalnya. Hal ini disebabkan karena adanya
perbedaan situasi yang ada pada lembaga itu masing-masing.
Demikianlah betapa banyak faktor yang dapat menimbulkan adanya
perbedaan-perbedaan situasi tiap organisasi atau lembaga, yang selanjutnya
dapat mempengaruhi perilaku kepemimpinan. Dalam hubungan ini, berbagai faktor
yang dapat mempengaruhi pemilihan gaya kepemimpinan antara lain sifat pribadi
pemimpin; sifat pribadi bawahan; sifat pribadi sesama pemimpin; struktur
organisasi; tujuan organisasi; kegiatan yang dilakukan; motivasi kerja; harapan
pemimpin maupun bawahan; pengalaman pemimpin maupun bawahan; adat, kebiasaan,
tradisi, budaya lingkungan kerja; tingkat pendidikan pemimpin maupun bawahan;
lokasi organisasi di kota besar, kota kecil, atau desa; kebijaksanaan atasan;
teknologi, peraturan perundangan yang berlaku; ekonomi, politik, keamanan yang
sedang berlangsung di sekitarnya.
Para ahli filsafat dan ahli teori sosial telah berusaha untuk menyimpulkan
pandangannya dengan mengajukan bermacam-macam tipologi kepemimpinan. Di dalam
In The Republic, Plato sebagaimana dikutip Mar'at mengajukan tiga tipe
kepemimpinan:
1. Ahli filsafat, negarawan yang memerintah republik dengan
penalaran dan keadilan.
2. Militer, untuk mempertahankan negara dan pelaksana
kebijaksanaan.
3. Pedagang, menyediakan kebutuhan material penduduk.
Sepanjang diketahui sekarang ini, para pemimpin dalam berbagai bentuk
organisasi dapat digolongkan kepada lima golongan (lima tipe pemimpin).
Tipe-tipe itu ialah:
a. Tipe pemimpin yang otokratis,
b. Tipe pemimpin yang militeristis,
c. Tipe pemimpin yang paternalistis,
d. Tipe pemimpin yang kharismatis, dan
e. Tipe pemimpin yang demokratis.
(1) Tipe otokratis
Kepemimpinan
secara otokratis artinya pemimpin menganggap organisasi sebagai milik sendiri.
Ia bertindak sebagai diktator terhadap para anggota organisasinya dan
menganggap mereka itu sebagai bawahan dan merupakan sebagai alat, bukan
manusia.
Seorang pemimpin yang otokratis ialah seorang pemimpin yang:
a. Menganggap organisasi sebagai milik pribadi;
b. mengindentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi;
c. menganggap bawahan sebagai alat semata-mata;
d. tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat;
e. terlalu bergantung kepada kekuasaan formalnya;
f. dalam tindakan penggerakannya sering mempergunakan approach yang
mengandung unsur paksaan dan punitive (bersifat menghukum).
Dari sifat-sifat tersebut di atas jelas terlihat bahwa tipe pemimpin yang
demikian tidak tepat untuk suatu organisasi modern dimana hak-hak asasi manusia
yang menjadi bawahan itu harus dihormati. Menurut G.R. Terry, kepemimpinan
berdasarkan teori ini menekankan perintah-perintah, paksaan-paksaan dan
tindakan¬tindakan yang agak arbiter pada hubungan pemimpin yang bersangkutan
dengan pihak bawahan.
(2) Tipe Militeristis
Perlu
diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan seorang pemimpin tipe
militeristis berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang
pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki
sifat-sifat:
a. dalam menggerakkan bawahan sistem perintah yang lebih
sering dipergunakan;
b. dalam menggerakkan bawahan senang .bergantung kepada
pangkat dan jabatannya;
c. senang kepada formalitas yang berlebih-lebihan ;
d. menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan ;
e. sukar menerima kritikan dari bawahannya;
f. menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Terlihat
pula dari sifat-sifat tersebut bahwa seorang pemimpin yang militeristis
bukanlah seorang pemimpin yang ideal.
(3) Tipe Paternalistis
Seorang
pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seseorang
yang:
a. menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa;
b. bersikap terlalu melindungi (overly protective);
c. jarang memberikan kesempatan mengambil keputusan;
d. jarang memberikan kesempatan mengambil inisiatif;
e. jarang memberikan kesempatan
f. sering bersikap maha tahu.
Harus
diakui bahwa untuk keadaan tertentu, seorang pemimpin yang demikian sangat
diperlukan, akan tetapi sifat¬sifatnya yang negatif mengalahkan sifat-sifatnya
yang positif. Contoh penelitian tindakan sekolah bagi kepala sekolah pdf
(4) Tipe Kharismatis
Hingga sekarang ini para sarjana belum berhasil menemukan sebab-sebab
mengapa seseorang pemimpin memiliki kharisma, yang diketahui ialah bahwa
pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada
umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar, meskipun para pengikut
itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut
pemimpin itu.
Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab-musabab seseorang menjadi
pemimpin yang kharismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang
demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (superanatural powers). Kekayaan, umur,
kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk kharisma.
Gandhi bukanlah seorang yang kaya. Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang
fisiknya sehat. John F. Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki kharisma,
meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi presiden Amerika
Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang
"ganteng".
(5)
Tipe Demokratis.
Pengetahuan
tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah
yang paling tepat untuk organisasi modern karena:
a. dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak
dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia;
b. selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan
organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari para bawahannya;
c. ia senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari
bawahannya;
d. selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam
usaha mencapai tujuan;
e. dengan ikhlas memberikan kebebasan yang, seluas-luasnya
kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian dibanding dan
diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, akan tetapi
lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;
f. selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses
daripadanya
g. berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai
pemimpin.
Secara
implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah suatu
hal yang mudah untuk dicapai. Akan tetapi karena pemimpin yang demikianlah yang
paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang
pemimpin yang demokratis.
3.
Manajemen Kepemimpinan Kepala Sekolah
Kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap kinerja guru di sekolah
untuk meningkatkan produktivitas kerja demi mencapai tujuan, dan mewujudkan
visi menjadi aksi. Dalam kaitannya dengan peran kepala sekolah dalam
meningkatkan kinerja tenaga kependidikan, perlu dipahami bahwa setiap kepala
sekolah bertanggung jawab mengarahkan apa yang baik bagi tenaga kependidikan,
dan dia sendiri harus berbuat baik. Kepala sekolah juga harus menjadi contoh,
sabar dan penuh pengertian. Fungsi pemimpin hendaknya diartikan seperti motto
Ki Hadjar Dewantara: Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri
handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membina kemauan, di belakang menjadi
pendorong/memotivasi).
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok
dalam usaha menuju pencapaian tujuan. Kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan pada setiap harinya memiliki tugas pokok mempengaruhi, mendorong,
mengajak guru-guru dan staf lainnya agar mereka bersedia berbuat sesuatu yang
dapat menyokong pencapaian tujuan sekolah sebagai suatu institusi.
Dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah
merupakan kunci keberhasilan yang harus menaruh perhatian tentang apa yang
terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan
masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha
membina dan mengembangkan hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan
masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Hubungan yang
harmonis ini akan membentuk 1) saling pengertian antara sekolah, orang tua,
masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat, termasuk dunia
kerja; 2) saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui
manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing; 3) kerja sama yang erat
antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di masyarakat dan mereka merasa
ikut bertanggung jawab atas suksesnya pendidikan di sekolah.
Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai
tugasnya di sekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan/kerja sama
dengan masyarakat dalam rangka membina pribadi peserta didik secara optimal.
Kerja sama ini penting karena banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan
oleh sekolah secara sepihak, atau sering terjadi kesalahpahaman, perbedaan
persepsi antara pihak sekolah dengan masyarakat. Misalnya, dalam masalah agama
yang akhir-akhir ini banyak dipersoalkan dalam RUU, sekolah bisa saja
memberikan informasi tentang agama lain kepada peserta didik, misalnya dalam
acara ''religion fair", "spiritual fair" atau "pekan raya
agama", tetapi mungkin orang tua tidak bisa menerima hal tersebut. Bahkan
bisa saja orang tua menyalahkan sekolah, karena memberikan informasi tentang
agama lain kepada anaknya. Download penelitian tindakan sekolah sd Lebih parah
lagi kalau orang tua langsung mencabut anaknya, dan memindahkannya ke sekolah
lain. Ini semua bisa terjadi kalau hubungan antara sekolah dengan masyarakat
tidak cair, sehingga orang tua tidak mengerti atau tidak mau mengerti apa yang
terjadi di sekolah, dan rencana apa yang akan dilakukan sekolah pada masa yang
akan datang.
Hubungan sekolah dengan masyarakat yang selama ini terjadi hanya sebatas
pemberitahuan pungutan dana, atau pengambilan buku laporan pendidikan. Itu pun
kalau di kota-kota banyak yang diwakili oleh sopir atau pembantu.
Dalam hal ini kepala sekolah harus mampu mencari jalan ke luar untuk
mencairkan hubungan sekolah dengan masyarakat yang selama ini terjadi, agar
masyarakat khususnya orang tua peserta didik bisa mengerti, memahami dan maklum
dengan ide-ide serta visi yang sedang berkembang di sekolah. Hal ini bisa
dilakukan oleh pihak sekolah dipimpin oleh kepala sekolah, misalnya melalui
dialog rutin antara pihak sekolah dengan orang tua, sehingga mereka bisa
memahami kondisi sekolah dengan berbagai permasalahannya. Lebih dari itu,
diharapkan masyarakat bisa membantu sekolah dalam mewujudkan visi dan
tujuannya.
Disadari memang bahwa partisipasi masyarakat terhadap pendidikan masih
relatif rendah (utamanya dalam hal sumbangan pemikiran), meskipun sudah ada
wadah-wadah dan saluran-saluran ke arah peningkatan partisipasi tersebut.
Wadah-wadah tersebut antara lain POMG dan BP-3, yang -sekarang berkembang
menjadi Komite Sekolah dan Dewan pendidikan. Meskipun wadah yang baru ini
berbeda visi dan misinya, tetapi substansinya sama, yakni menjalin hubungan
antara sekolah dengan masyarakat. Kita berharap wadah dan saluran atau
lembaga-lembaga baru tersebut bisa menjembatani kesenjangan antara sekolah
dengan orang tua/masyarakat. Namun demikian, semua itu kembali kepada niat
kedua belah pihak dalam memajukan pendidikan dan pembangunan masyarakat pada
umumnya, khususnya dalam pengembangan pribadi anak-anak. Oleh karena itu kita
(pihak sekolah) harus berani memulai dari awal, sejak penerimaan murid baru
(PMB) misalnya. Contoh Laporan PTS doc Dalam hal ini pihak sekolah harus
memiliki program yang jelas, yang bisa ditawarkan kepada masyarakat. Selama ini
kita maklum bahwa sekolah terlalu berorientasi pada kegiatan-kegiatan kurikuler
atau akademis, yang lebih dipersempit lagi pada pemindahan pengetahuan (mengisi
kepala anak dengan sejumlah pengetahuan tertentu). Demikian halnya masyarakat,
perhatiannya hanya terfokus pada kondisi sekolah, sehingga perhatiannya hanya
terfokus pada bagaimana agar anaknya mendapat nilai ujian yang tinggi. Kondisi semacam
ini yang telah melahirkan budaya nyontek di kalangan peserta didik,
kebocoran¬kebocoran di pihak pengelola, yang pada akhirnya bermuara pada
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan. Di sinilah pentingnya
kepala sekolah profesional tampil sebagai pigur yang harus mampu memimpin
tenaga kependidikan di sekolah, agar bisa bekerja sama dengan orang tua dan
masyarakat pada umumnya. Karena itulah, kepala sekolah dituntut untuk
mampu menciptakan iklim yang kondusif demi lahirnya partisipasi dan kolaborasi
masyarakat secara profesional; transparan- dan demokratis. Dengan cara
demikianlah, kita akan memulai memperbaiki kualitas pendidikan dan
mengembangkan anak bangsa untuk masa depan.